GENDER, PEREMPUAN, DAN LINGKUNGAN

DR. VALENTINA SAGALA, S.E., S.H., M.H.
Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya; Pendiri Institut Perempuan dan ALIANSI (Aliansi Aktivis Lingkungan)

Di berbagai negara di seluruh dunia, perempuan merupakan kelompok yang sangat besar dalam masyarakat miskin. Perempuan pedesaan di negara-negara berkembang sangat bergantung pada sumber daya alam setempat untuk mata pencaharian mereka, karena tanggung jawab mereka untuk mengamankan air, makanan, dan energi untuk memasak dan memanaskan ruangan. Dampak perubahan iklim, termasuk kekeringan, curah hujan yang tidak menentu, dan penggundulan hutan, membuat upaya pengamanan sumber daya ini menjadi lebih sulit. Dibandingkan dengan laki-laki di negara-negara miskin, perempuan menghadapi berbagai kerugian historis, yang meliputi keterbatasan akses terhadap pengambilan keputusan dan aset ekonomi yang memperparah tantangan perubahan iklim (Sesi ke-52 Komisi tentang Status Perempuan (2008) “Perspektif gender tentang perubahan iklim”).

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengamanatkan tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. UUD NRI 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

Perempuan dan anak merupakan dua per tiga dari 270 juta total jiwa penduduk Indonesia. Data menunjukkan, jumlah anak-anak di Indonesia mencakup sekitar 32,03%, sementara penduduk perempuan dan laki-laki masing-masing sebesar 49,92% dan 50,08%. Dengan proporsi yang signifikan ini, perempuan dan anak memiliki peran strategis dalam pembangunan bangsa

Lingkungan dan Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Di Indonesia, para pakar hukum tata negara semakin mengkaji permasalahan lingkungan dalam konsitusi, khususnya pada konstitusi UUD NRI 1945 yang mengalami empat tahap perubahan. Ketentuan hasil perubahan telah membawa makna penting bagi tersedianya jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan di dalam UUD NRI 1945, sebagai berikut:
• Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
• Pasal 33 ayat (4): “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Berdasarkan kedua Pasal di atas, UUD NRI 1945 telah mengakomodasi perlindungan konstitusi (constitutional protection), baik terhadap warga negara untuk memperoleh lingkungan hidup yang memadai maupun jaminan terjaganya tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak negatif dari aktivitas perekonomian nasional. Pan Mohamad Faiz dalam “Perlindungan terhadap Lingkungan dalam Perspektif Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 4, Desember 2016, menguraikan penafsiran konstitusi terhadap ketentuan kunci kedua Pasal tersebut sebagai berikut:

1. Hak hidup dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa setiap warga negara berhak dan memperoleh jaminan konstitusi (constitutional guaranteee) untuk hidup serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk tumbuh dan berkembang. Kebutuhan hidup warga negara Indonesia juga harus terpenuhi sesuai dengan ukuran yang memadai baik terhadap kesehatannya maupun hal-hal lain yang terkait dengan penyokong kehidupan seseorang. Secara lebih luas, norma ini diperkuat pemaknaannya dengan termaktubnya salah satu tujuan negara sebagai cita negara (staatsidee) pada Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2. Pembangunan berkelanjutan

Istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan pertama kali pada 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat dan setelah terbentuknya World Commission on Environment and Development (WCED) pada 1987 atau lebih dikenal dengan Brundtland Commission. Komisi tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Dalam World Summit Report 2005, pembangunan berkelanjutan haruslah didirikan di atas tiga pilar pokok, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya dibentuk untuk saling menopang antara satu dengan lainnya. Pembangunan berkelanjutan tidak saja memfokuskan diri pada aspek-aspek pembangunan ekonomi dan sosial semata, namun juga harus berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk memberikan aspirasi kehidupan yang lebih baik (WCED, 1987).

Jika ditarik melalui persepektif kerangka hukum internasional, McGoldrick merumuskan pembangunan berkelanjutan yang ditopang oleh tiga pilar menyerupai bangunan rumah. Pilar-pilar tersebut dibangun di atas tiga ranah hukum internasional, yaitu hukum lingkungan internasional, hukum ekonomi internasional, dan hukum hak asasi manusia (HAM) internasional. Dengan demikian, antara pembangunan berkelanjutan dengan HAM dapat dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, HAM yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal 28J UUD NRI 1945 juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, ketentuan dan norma HAM di dalam UUD NRI 1945 memiliki substansi dan pengaturan yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM yang bersifat universal sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti UDHR, ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya (Pan Mohamad Faiz, 2007).

KTT Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002 telah menghasilkan asas-asas pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam UNCED, terdiri dari: (1) keadilan antargenerasi (intergenerational equity); (2) keadilan dalam satu generasi (intra-generational equity); (3) prinsip pencegahan dini (precautionary principle); (4) perlindungan keanekaragaman hayati (conversation of biological diversity); dan (5) internalisasi biaya lingkungan (internalisation of environment cost and incentive mechanism). Salah satu hasil yang disepakati untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yaitu dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan berbagai aspek bahaya (multihazard) dan inklusi untuk menangani kerentanan, penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur penting bagi dunia yang lebih aman di abad ke-21 (Supriadi, 2008).

3. Berwawasan lingkungan

Menurut Surna T. Djajadiningrat, proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kondisi sumber daya alam; (2) kualitas lingkungan, dan (3) faktor kependudukan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak akan bermakna banyak apabila tidak turut memperhatikan aspek-aspek yang berwawasan lingkungan. Pembangunan haruslah mampu untuk menjaga keutuhan fungsi dan tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada dapat senantiasa tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Surna T. Djajadiningrat dalam “Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan”, Jurnal Hukum Lingkungan, Volume I, Issue 1, 1994, menyatakan bahwa untuk menciptakan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, diperlukanlah pokok-pokok kebijakan yang di antaranya berpedoman pada:

a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek;
c. Adanya pengutamaan penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah;
d. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan;
e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran sungai, rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan, serta pengelolaan wilayah pesisir dan lautan;
f. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan;
g. Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan; dan
i. Pengembangan kerja sama luar negeri.

Terdapat pertalian antara norma “pembangunan berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan”. Segala strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan memerlukan tafsir konstitusi secara khusus ketika aktor-aktor negara ingin melaksanakan aktivitas perekonomian. Hal tersebut harus dipahami semata-mata untuk mencegah terjadinya dampak negatif yang lebih besar atas rusaknya alam dan lingkungan.

Tahun 2009, Indonesia mengundangkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). UU ini dimaksudnya agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, yang merupakan pembaruan terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU PPLH mengatur lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Pasal 1 angka 1). Sedangkan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (Pasal 1 angka 2).

Gender, Perempuan, dan Lingkungan
Sejalan dengan konstitusi UUD NRI 1945, Indonesia juga memiliki UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (the Convention on the Elimination of All Forms of Disccrimination against Women/CEDAW). Ini merupakan wujud nyata komitmen Indonesia untuk tidak membenarkan adanya diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

CEDAW menyatakan bahwa “Para Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik”, dan untuk memastikan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki baik di organisasi Pemerintah maupun Non-Pemerintah dan dalam hal pengembangan dan implementasi kebijakan. Selain itu, CEDAW menekankan tantangan unik bagi perempuan pedesaan dan perlunya memastikan penerapan langkah-langkah ini di daerah pedesaan. Sebagai contoh, CEDAW menyerukan “akses ke kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas pemasaran, teknologi yang tepat dan perlakuan yang sama dalam reformasi tanah dan agraria serta dalam skema pemukiman kembali tanah (Pasal 14.2 (g)) dan ke kondisi kehidupan yang layak, termasuk sanitasi dan pasokan air yang memadai (Pasal 14.2 (h)).

Tahun 2009, Komite CEDAW mengeluarkan pernyataan tentang Gender dan Perubahan Iklim, yang menyatakan kekhawatiran tentang tidak adanya perspektif gender dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan kebijakan serta inisiatif global dan nasional lainnya tentang perubahan iklim; dan menyerukan kepada Negara-negara Pihak untuk memasukkan kesetaraan gender sebagai prinsip panduan utama dalam perjanjian UNFCCC yang diharapkan akan diadakan pada Konferensi Para Pihak ke-15 di Kopenhagen. http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/docs/Gender_and_climate_change.pdf

Komisi tentang Status Perempuan (2002) mempertimbangkan isu perubahan iklim pada sesi ke-46. Kesimpulan yang disepakati tentang “Pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana alam” yang diadopsi oleh Komisi menyerukan tindakan untuk memasukkan perspektif gender ke dalam penelitian yang sedang berlangsung tentang dampak dan penyebab perubahan iklim, dan untuk mendorong penerapan hasil penelitian ini dalam kebijakan dan program.

Komisi tentang Status Perempuan menganggap perubahan iklim sebagai isu yang muncul dalam sesi ke-52 pada tahun 2008. Para peserta menyoroti fakta bahwa perubahan iklim bukanlah fenomena yang netral gender, menekankan bahwa hal itu berdampak langsung pada kehidupan perempuan karena pekerjaan rumah tangga mereka dan membuat kebutuhan hidup sehari-hari mereka semakin sulit. Komisi menyerukan upaya pendanaan untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, khususnya mengacu pada dampak perubahan iklim terhadap perempuan dan anak perempuan. Lebih jauh, komisi menyerukan kepada pemerintah untuk: mengintegrasikan perspektif gender ke dalam desain, implementasi, pemantauan, evaluasi dan pelaporan kebijakan lingkungan nasional; untuk memperkuat mekanisme; dan untuk menyediakan sumber daya yang memadai untuk memastikan partisipasi penuh dan setara perempuan dalam pengambilan keputusan di semua tingkatan tentang isu lingkungan, khususnya pada strategi yang terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan perempuan dan anak perempuan.

Tahun 2018, Komite CEDAW mengeluarkan General Recommendation No. 37 on Gender-related dimensions of disaster risk reduction in the context of climate change (Rekomendasi Umum No. 37 tentang Dimensi Gender dalam Pengurangan Risiko Bencana dalam Konteks Perubahan Iklim (CEDAW/C/GC/37)). Rekomendasi ini dibuat oleh Komite CEDAW sesuai dengan Pasal 21 (1) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi), guna menjadi rekomendasi umum yang memberikan panduan kepada Negara-negara Pihak tentang pelaksanaan kewajiban mereka berdasarkan Konvensi terkait pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim. Dalam laporan Negara-negara Pihak yang disampaikan kepada Komite berdasarkan Pasal 18, Negara-negara Pihak harus membahas kewajiban umum untuk memastikan kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki di semua bidang kehidupan, serta jaminan khusus terkait dengan hak-hak Konvensi yang mungkin secara khusus terpengaruh oleh perubahan iklim dan bencana. Ini termasuk peristiwa cuaca ekstrem seperti banjir dan badai, serta fenomena yang terjadi secara perlahan, misalnya, mencairnya lapisan es kutub dan gletser, kekeringan, dan kenaikan permukaan laut (Rotua Valentina Sagala, 2018).

Tujuan dari Rekomendasi Umum No. 37 adalah untuk menggarisbawahi urgensi mitigasi perubahan iklim dan menyoroti langkah-langkah yang perlu diambil untuk mencapai kesetaraan gender sebagai faktor yang akan memperkuat ketahanan individu dan masyarakat secara global dalam konteks perubahan iklim dan bencana. Rekomendasi umum ini juga berupaya untuk memberikan kontribusi pada koherensi, akuntabilitas, dan penguatan bersama berbagai agenda internasional tentang pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dengan berfokus pada dampak perubahan iklim dan bencana terhadap hak asasi manusia perempuan.

Rekomendasi Umum ini berfokus pada kewajiban Negara Pihak dan aktor non-Negara untuk mengambil langkah-langkah efektif guna mencegah, mengurangi, dan menanggapi bencana serta perubahan iklim dan, memastikan bahwa hak asasi manusia perempuan dan anak perempuan dihormati, dilindungi, dan dipenuhi sesuai dengan hukum internasional. Rekomendasi Umum tersebut mengidentifikasi tiga area tindakan yang berbeda tetapi saling memperkuat bagi para pemangku kepentingan yang berpusat pada: (i) prinsip-prinsip umum Konvensi yang berlaku untuk risiko bencana dan perubahan iklim; (ii) langkah-langkah khusus untuk mengatasi pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim; dan (iii) area-area khusus yang perlu diperhatikan.

Indonesia juga memiliki Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini telah menjadi dasar bagi Kementerian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan di bidang-bidang pembangunan terkait, termasuk lingkungan.

Perempuan sebagai entitas penting dalam masyarakat, sebagai subyek pembangunan, memiliki peran strategis dalam menghadapi perubahan iklim, kelangsungan lingkungan, dan bencana. Analisis gender dan persepektif perempuan sangat penting diterapkan pada semua tindakan perubahan iklim dan bahwa para ahli gender dan komunitas perempuan harus diajak berkonsultasi dalam proses perubahan iklim di semua tingkatan, sehingga kebutuhan dan prioritas spesifik perempuan dan laki-laki dapat diidentifikasi dan ditangani.


Pengutipan terhadap artikel ini harap dilakukan sesuai pengutipan ilmiah.

 

GENDER DAN PENGUATAN PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN

GENDER DAN PENGUATAN PERAN PEREMPUAN (INKLUSI SOSIAL) DALAM PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN

DR. VALENTINA SAGALA, S.E., S.H., M.H.

Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya; Pendiri Arts for Women dan Institut Perempuan; Pakar/Panja Pemerintah untuk UU Kekerasan Seksual dan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (2020-2024); Pakar/Tenaga Ahli Kemendikbudristek untuk Gender, Inklusivitas, HAM, dan Perlindungan Anak (2023-2024)


Women and culture, women in culture, cultural rights of women, women’s contribution to culture, women, culture and development merupakan sebagian isu yang mengemuka ketika membincangkan tentang perempuan dan kebudayaan, baik dalam dinamika dunia akademik maupun kehidupan praktik bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Perempuan sebagai entitas penting dalam masyarakat, sebagai subyek pembangunan, memiliki peran strategis dalam pemajuan kebudayaan, baik dalam upaya pelindungan kebudayaan dan tradisi, diplomasi, promosi, dan kerja sama kebudayaan, maupun pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengamanatkan tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pasal 32 ayat (1) UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Tahun 2017 menjadi penting ketika Indonesia memiliki UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. UU ini dilandasi semangat Negara memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dan menjadikan kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI 1945. UU ini mengamanatkan Dana Abadi Kebudayaan, yang dikelola Kementerian, disalurkan kepada pegiat budaya melalui Dana Indonesiana.

Kebudayaan Nasional Indonesia adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi antar kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Perkembangan tersebut bersifat dinamis, yang ditandai oleh adanya interaksi antar-kebudayaan baik di dalam negeri maupun dengan budaya lain dari luar Indonesia dalam proses dinamika perubahan dunia. Dalam konteks tersebut, bangsa Indonesia menghadapi berbagai masalah, tantangan, dan peluang dalam memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia.

Sejalan dengan konstitusi UUD NRI 1945, Indonesia juga memiliki UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (the Convention on the Elimination of All Forms of Disccrimination against Women/CEDAW). Ini merupakan wujud nyata komitmen Indonesia untuk tidak membenarkan adanya diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam bidang budaya.
Pemajuan kebudayaan nasional Indonesia dilaksanakan berlandaskan Pancasila, UUD NRI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal lka. Asas pemajuan kebudayaan nasional Indonesia adalah toleransi, keberagaman, kelokalan, lintas wilayah, partisipatif, manfaat, keberlanjutan, kebebasan berekspresi, keterpaduan, kesederajatan, dan gotong royong. Karenanya kesetaraan gender dan penguatan peran perempuan merupakan aspek penting yang harus diintegrasikan dalam pemajuan kebudayaan nasional. Hal ini sejalan pula dengan dokumen Asta Cita, khususnya Asta Cita 4 dan 8, yang saat ini telah diintegrasikan dalam Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025-2029 (RPJMN 2025-2029).

RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden Prabowo serta Wakil Presiden Gibran, yang disusun berdasarkan RPJPN yang termuat dalam UU No. 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045. Dimana Prioritas Nasional sejalan dengan Misi dan Visi Presiden dan Wakil Presiden antara lain:

  • Prioritas Nasional 4: Memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.
  • Prioritas Nasional 8: Memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Pengarutamaan Pembangunan dalam RPJMN 2025-2029: Gender dan Inklusi Sosial
RPJMN yang baru memliki peran penting karena merupakan (Pasal 2 Ayat (6)):
1. dasar hukum bagi kementerian/lembaga dalam menyusun Renstra-KL;
2. dasar hukum penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dengan memperhatikan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah dalam mencapai sasaran Pembangunan Nasional yang termuat di dalam RPJMN;
3. dasar hukum bagi Pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah;
4. pedoman dasar dalam pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJMN; dan
5. pedoman bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan Pembangunan Nasional.

RPJMN Tahun 2025-2029 menggunakan lima pengarusutamaan pembangunan. Esensi dari pengarusutamaan pembangunan adalah memperluas kemanfaatan dari hasil pembangunandan mengurangi dampak yang tidak diinginkan, sehingga terciptapemerataan dan keadilan untuk seluruh masyarakat dengan tetap menjaga kualitaslingkungan. Pengarusutamaan dilakukan melalui pengintegrasian secara konsisten pendekatan: (i) Gender dan Inklusi Sosial, (ii) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, (iii)Transformasi Digital, (iv) Pembangunan Rendah Karbon, dan (v) Pembangunan Berketahanan Iklim kedalam seluruh kebijakan, program, dan kegiatan pemerintah (pusat-daerah), serta inisiatif pembangunan lain yang dilakukan oleh non state actors.

Penempatan Gender sebagai pendekatan pembangunan sejalan dengan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini telah menjadi dasar bagi Kementerian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan di bidang-bidang pembangunan terkait.

Rekomendasi
Sebagai Kementerian “baru” yang diharapkan memiliki posisi strategis dalam pembangunan bidang kebudayaan, Kementerian Kebudayaan kiranya perlu memastikan Renstra dan Rencana Kerja Pemerintah mengintegrasikan secara konsisten pendekatan gender dan inklusi sosial. Dengan demikian pengarustamaan gender dan inklusi sosial perlu tercermin dan terwujud dalam kebijakan, program, dan kegiatan Kementerian agar berdampak bagi masyarakat, termasuk perempuan yang bergerak untuk membangun kemajuan kebudayaan.

Di tingkat kebijakan, Menteri perlu mengeluarkan Peraturan Menteri tentang Pengarusutamaan Gender dan Inklusi Sosial dalam Pemajuan Kebudayaan, sebagaimana telah ada Permen Pendidikan Nasional No. 84 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan Nasional. Menteri juga perlu mengeluarkan RoadMap Pengarustamaan Gender dan Inklusi dalam Pemajuan Kebudayaan.

Sejalan dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (KIA), kiranya Kementerian Kebudayaan perlu segera mengeluarkan kebijakan, program, dan kegiatan pula terkait pencegahan dan penanganan TPKS, maupun terkait KIA.

Kolaborasi (collaborative approach) antara pemerintah dengan non-state actors menjadi salah satu pendekatan kunci yang sangat penting dalam pembangunan. Berbagai inisiatif-inisiatif perempuan insan budaya bertebaran dari Aceh sampai Papua. Mereka merawat budaya, merawat bangsa Indonesia. Collaborative approach sebenarnya bukan barang baru dalam budaya Indonesia. Kita mengenalnya sebagai bagian dari budaya Indonesia, yaitu gotong royong. Gotong royong untuk mencapai cita-cita bersama. Berbagai kajian menunjukkan perempuan (ibu) merupakan subyek yang terdepan merawat budaya gotong royong ini, jauh sejak pra kemerdekaan, kemerdekaan, dan semoga selamanya.

Melinda Gates mengatakan “When we invest in women and girls, we are investing in the people who invest in everyone else.”. Untuk pernyataan ini, saya sependapat.


Makalah dibawakan dalam Audiensi Arts for Women dengan Menteri Kebudayaan RI, Bapak Dr. Fadli Zon, di Jakarta, 14 Maret 2025. Pengutipan harap sesuai pengutipan karya tulis ilmiah.

Buku Kumpulan Puisi : Perempuan Yang Melihat Neraka

Buku Kumpulan Puisi Dr. Valentina Sagala : Perempuan Yang Melihat Neraka

Sastra, Seni, Kebudayaan, dan Feminisme

Buku puisi karya Dr. R. Valentina Sagala, S.E., S.H., M.H., berjudul “Perempuan yang Melihat Neraka” terbit tahun 2021. Buku berisi 60 puisi ini merupakan buku Kumpulan puisi Valentina, setelah sebelumnya dia dikenal sebagai penyair feminis ketika menerbitkan “Seperti Pagi: Kredo dan Puisi-Puisi Feminis”. Lewat buku puisi tersebutlah, the Jakarta Post menyebutnya sebagai penyair feminist (a “feminist poet”).

Valentina yang lebih dikenal sebagai pakar hukum dan aktivis hak asasi manusia khususnya perempuan dan anak, juga bergiat di dunia sastra, seni, dan kebudayaan. Di bidang kebudayaan, seni, dan sastra, komitmennya ditunjukkan dengan aktif mempromosikan perspektif gender dan feminisme dalam sastra, seni, dan budaya. Pidato Kebudayaan yang pernah ditulis dan dibacakannya di Gedung Perfilman Usmar Ismail dalam rangka “International Women’s Day”, berjudul “Rasa Cinta (dan Pikir Cinta)” terbit Agustus 2011, diterjemahkan dalam bahasa Inggris “Sense of Love (and Thoughts of Love)”. Selain menulis puisi dan cerita pendek, bersama beberapa pegiat sastra, seni, dan budaya, mereka mendirikan ArtsforWomen. Beberapa kali ia juga menjadi juri lomba cipta puisi bertema perempuan.

Beberapa waktu lalu, artis kawakan Cornelia Agatha membacakan puisi Valentina dari buku ini, yang berjudul sama dengan judul bukunya, yaitu “Perempuan yang Melihat Neraka”, dalam Webinar & Konferensi Pers 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2024, yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan. Melalui Webinar tersebut, puisi ini semakin dikenal publik. Berikut puisi tersebut.

Perempuan yang Melihat Neraka

Kau hadiahi metafora
untuk perempuan pengelana
pencari surga tergelap
yang tak pernah mengecewakan

Perempuan itu telah melihat neraka
dengan raut wajahmu pucat pasi
gemetar tulang-tulangmu
menahan perih menyengat

Terbiasa gagal, kau rengkuh perempuan itu
dengan bara di kepalamu
secara religius
secara memuaskan

Ketidaknormalan menjadi beralasan
kegagahanmu dalam linang pedih
perempuan yang melihat neraka:
aku

Selain puisi “Perempuan yang Melihat Neraka”, beberapa puisi lain yang termuat dalam buku ini antara lain “Anak Laki-laki yang Ingin Pulang”, “Menikmatimu di Suatu Subuh”, “Keintiman Terakhir”, “Mata Matahari”, “Kusesap Engkau”, “Mantram Cinta”, dan “Kupinang SalibMu”.

Puisi merupakan salah satu topik kajian feminisme yang kini semakin berkembang. Dengan kata-kata yang puitis, para penyair perempuan mengeksplorasi, memperjuangkan, dan merayakan pengalaman hidup perempuan, sekaligus berdialog, dan melawan penindasan.

Area atau isu yang diangkat oleh para penyair feminis dalam merayakan pengalaman tubuhnya sangatlah beragam mulai dari topik intim seperti relasi diri dengan orang lain dan Tuhan, hingga ranah publik seperti dunia kerja, alam, lingkungan, pelayanan publik, sistem peradilan, dan sebagainya. Dalam puisi-puisi Valentina, kegelisahan berkelindan, mengajak pembaca masuk dalam warna warni pengalaman perempuan yang tidak tunggal.

Puisi-puisi Valentina banyak dibacakan oleh para penyair. Salah satu yang juga dibicarakan publik adalah puisi “Ombak Terbesar di Kepalamu”. Puisi ini pernah dibacakan penyair perempuan Ratna Ayu Budhiarti (https://www.youtube.com/watch?v=za5opOIqY6U ). Berikut puisi tersebut.

Ombak Terbesar di Kepalamu

Semua orang pernah takut
di kepala
aku takut
aku sangat takut

“Aku hanya menunggu ombak yang tepat”

Ombak terbesar
agar kau bisa mendayung dalam ombak ini
menjemput apa yang tertinggal
di wujud abadimu

Sementara aku tengah
merawat senja menguning
ombak tertepat di kepalamu

(Lihat di Youtube)

Para feminis meyakini puisi dapat menjadi medium atau alat strategis bagi perempuan untuk mengeskpresikan pengalaman hidup, pemikiran, dan perjuangan perempuan. Puisi juga dapat dipilih menjadi alat pembebasan atau alat pemulihan dari pengalaman traumatik, baik kekerasan, krisis, teror, konflik, perang, atau situasi kedaruratan seperti bencana.

Puisi menjadi cerminan realitas dan refleksi perempuan, alat pemberdayaan untuk menantang struktur kekuasaan, dan kebebasan berekspresi guna membangun solidaritas dan gerakan.

Semoga semakin banyak perempuan Indonesia yang begerak dengan puisi, sastra, seni, dan budaya.

BUKU BARU : PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK PEREMPUAN DALAM KONTEKS MIGRASI GLOBAL

Kajian Hukum Hak Asasi Manusia

Penulis : Dr. Rotua Valentina Sagala, S.E., S.H., M.H.
Ilustrasi : Christian Mangkuraya Djandam

Cetakan ke-1, Desember 2024
SAGALA, R. Valentina

PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK PEREMPUAN DALAM KONTEKS MIGRASI GLOBAL
Kajian Hukum Hak Asasi Manusia

Bandung : Institut Perempuan
viii + 221 hlm, 14,8 x 21 cm.
ISBN : XXXXXXXXXXXX

Penerbit : Institut Perempuan
Jl. Dago Pojok No. 85
Bandung 40135
Telp. 022-2516378

Email : institut_perempuan@yahoo.com
Website: www.institutperempuan.or.id

Harga : Rp. 150.000

Ketersediaan : 500 exp

Buku Baru : MAGANG DI LUAR NEGERI Analisis Hukum Pemagangan di Luar Negeri dan Tindak Pidana Perdagangan Orang

MAGANG DI LUAR NEGERI
Analisis Hukum Pemagangan di Luar Negeri dan Tindak Pidana Perdagangan Orang

 

 

Penulis : Dr. Rotua Valentina Sagala S.E., S.H., M.H.
Ilustrator Sampul: Samuel Mangkujaya Djandam

 

Cetakan ke-1, Agustus 2024
SAGALA, R. Valentina

MAGANG DI LUAR NEGERI
Analisis Hukum Pemagangan di Luar Negeri dan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Bandung : Institut Perempuan
viii + 135 hlm, 14,8 x 21 cm.
ISBN :

Penerbit : Institut Perempuan
Jl. Dago Pojok No. 85
Bandung 40135
Telp. 022-2516378
Email : institut_perempuan@yahoo.com
Website: www.institutperempuan.or.id

Harga : Rp. 150.000

Ketersediaan : 500 exp

Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 40 Tahun 2022 Tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2022-2024

Alhamdulillah..puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa..karena hanya atas berkatNya lah..komitmen Pemerintah Jawa Barat, khususnya Bapak Gubernur @ridwankamil dan Kepala @bakesbangpol_jabar Bapak Iip Hidajat, serta dukungan semua pihak, kami Institut Perempuan, Jabar Masagi, bersama Jaringan Masyarakat Sipil untuk RAD PE Jabar bersyukur atas ditetapkannya Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 40 Tahun 2022 Tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2022-2024 (Pergub RAD PE Jabar).

Kiranya dengan ditetapkannya RAD ini, Jabar bisa terdepan mencegah dan menanggulangi ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, sejalan dengan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE) @bnptri yang telah ditetapkan Bapak Presiden @jokowi.

 

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Siaran Pers Institut Perempuan : Perbaikan Pengertian “Perempuan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Perlu Segera Dilakukan

Siaran Pers Institut Perempuan

Perbaikan Pengertian “Perempuan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Perlu Segera Dilakukan

Bandung, 18 Februari 2021

 

Polemik pengertian kata “perempuan” kembali menguak. Institut Perempuan mencatat kritik, masukan, dan upaya untuk perbaikan pengertian perempuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa, telah sejak lama diperjuangkan oleh para aktivis perempuan.

Institut Perempuan memandang pentingnya Bahasa Indonesia, termasuk kamus eka bahasa KBBI Pusat Bahasa. Sebagaimana tercantum dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, bahasa Indonesia merupakan salah satu sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD NKRI Tahun 1945. Diakui bahwa bahasa merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kesatuan dalam keragaman budaya, serta kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan NKRI jelas mencerminkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Pancasila dan UUD 1945 menegaskan hal ini.

Pasal 25 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 menegaskan bahwa bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 UUD NKRI Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Ayat (2) menyatakan bahwa bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Ayat (3) menyatakan, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.

Dalam konteks inilah perbaikan pengertian “perempuan” dalam KBBI Pusat Bahasa menjadi amat penting. Bahasa merupakan bagian dari budaya yang mengandung nilai-nilai tertentu dan turut membentuk pandangan terhadap isu atau peristiwa. Indonesia juga telah berkomitmen menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, salah satunya dengan meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang telah disahkan dan diundangkan dengan UU No. 7 Tahun 1984.

Dengan berbagai pertimbangan di atas, Institut Perempuan meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI c.q Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, memperbaiki pengertian atau arti kata “perempuan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa. Diperlukan penelusuran yang lebih cermat yang memperhatikan aspek keadilan dan kesetaraan gender, guna memastikan bahasa Indonesia dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa yang demokratis bagi perempuan dan laki-laki.

CINTA ITU BUKAN LUKA : Rahasia Terbebas dari Toxic Relationship

Karya R. Valentina Sagala

  

Tentang Buku:

Spesifikasi: 14,8 x 21 cm; 227 halaman

ISBN: 978-623-94333-1-4

Penerbit: Yayasan Institut Perempuan. Seluruh hasil penjualan didonasikan ke Institut Perempuan.

 

“CINTA ITU BUKAN LUKA: Rahasia Terbebas dari Toxic Relationship” adalah buku yang ditulis oleh R. Valentina Sagala, pakar, pejuang hak asasi manusia (HAM), advokat, penulis, peneliti, yang berpengalaman lebih dari 25 tahun di dunia hukum, kebijakan, HAM, gender, dan perlindungan anak.

Perempuan dan anak rentan mengalami kekerasan dalam relasi intim, baik pacaran, maupun dalam perkawinan. Anak/remaja yang mulai mengenal cinta juga perlu edukasi tentang apa yang dimaksud kekerasan dalam pacaran, termasuk aspek hukum. Misalnya, masyarakat baru-baru ini diramaikan soal pornografi, kekerasan online, dsb.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada tahun 2016 untuk mengetahui informasi mengenai pengalaman hidup perempuan yang mengalami kekerasan dengan usia 15 tahun keatas. Diketahui sebanyak 33,4% perempuan usia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual selama hidupnya, dengan jumlah kekerasan fisik sebanyak 18,1% dan kekerasan seksual 24,2%. Tingkat kekerasan baik secara fisik dan seksual yang dialami perempuan belum kawin yaitu sebesar 42,7%. Kekerasan seksual paling banyak dialami perempuan yang belum kawin yaitu 34.4%, lebih besar dibanding kekerasan fisik yang hanya 19.6%. Angka tersebut membuktikan bahwa masih banyak perempuan yang belum kawin menjadi korban kekerasan.

Simfoni PPA 2016 menyebutkan, dari 10.847 pelaku kekerasan sebanyak 2.090 pelaku kekerasan adalah pacar/teman. Ketika pandemi Covid-19 terjadi, kasus-kasus kekerasan dalam pacarana dan relasi intim lain tidak berkurang. Sebaliknya kasus-kasus seperti kekerasan seksual online, pornografi, maupun kekerasan dalam rumah tangga muncul ke permukaan. Di sinilah pentingnya Buku “CINTA ITU BUKAN LUKA”.

Buku ini ditujukan mengedukasi pembacanya tentang apa itu kekerasan dalam pacaran atau relasi intim lainnya, termasuk mencegah anak-anak tidak menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Buku ini membuka rahasia sangat penting untuk siapapun, terutama perempuan, yang merasakan dan mengalami pengalaman berada dalam toxic relationship alias hubungan tidak sehat yang sarat kekerasan. Juga untuk mereka yang berada dalam relasi dan terbersit dalam pikiran untuk “melihat” kembali relasi yang tengah dijalani, atau yang tengah berjuang untuk bebas dari kekerasan dalam pacaran. Atau yang menyaksikan, melihat, mendengar kisah pedih orang-orang di sekitar, dan ingin membantu mereka terlepas dari situsi buruk yang mengatasnamakan cinta.

Terdiri dari lima Bab, buku ini membahas: (Bab I) Mengenal Toxic Relationship; (Bab II) Kekerasan Dalam Pacaran; (Bab III) Gender, Seksualitas, dan Kekerasan Terhadap Perempuan; (Bab IV) Aspek Hukum Kekerasan Dalam Pacaran; (Bab V) Bebas Dari Toxic Relationship.

Selain aspek hukum kekerasan yang membahas misalnya soal pornografi, risiko merekam diri telanjang di depan kamera, kekerasan fisik dalam pacaran, bullying online, dan lain sebagainya, keunikan buku ini adalah dilengkapi dengan panduan self-love dan kontak layanan pendamping perempuan dan anak korban di seluruh Indonesia.

Untuk Wawancara & Memperoleh Buku, kontak: 0816-1919-055

Tentang Penulis: R. Valentina Sagala, S.E., S.H., M.H., adalah pakar, pejuang hak asasi manusia (HAM), advokat, penulis, peneliti, cerpenis, penyair, kolumnis, editor, dan dosen, yang berpengalaman lebih dari 25 tahun di dunia hukum, kebijakan, HAM, gender, perlindungan anak, migrasi dan perdagangan orang. Menjadi senior independent expert (advisor) di berbagai lembaga nasional (kementerian/lembaga, institusi penegak hukum, LSM, perusahaan, universitas) maupun regional-internasional (United Nations, lembaga internasional, kerjasama antar negara). Penulis puluhan buku. Telah banyak mendapat penghargaan, salah satunya N-Peace Award 2013 dari United Nations. Tahun 2019-2020 menjadi Tim Ahli Pemerintah untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (https://www.institutperempuan.or.id/founder/ )

SEPERTI PAGI: KREDO DAN PUISI-PUISI FEMINIS

Penulis: R. Valentina Sagala

Penerbit: Institut Perempuan, 2012

Jendela Puan – Olin Monteiro

Selalu banyak label diberikan kepada aktivis perempuan, bahwa apa yang dilakukan adalah protes atau tuntutan. Tapi Valentina Sagala meruntuhkan semua dengan menyusun Seperti Pagi, Kredo dan Puisi-Puisi Feminis, yang membahas sebuah doa lirih, rasa terdalam dan harapan untuk Bahagia.

Tidak sama dengan pengantar yang ditulis, penyusun tulisan ini melihat bahwa puisi-puisi Valentina sangat reflektif, menggali pemikiran perempuan, jujur, bergairah dan kuat. Ada begitu banyak perenungan tentang diri sendiri, tubuh, koneksi antara jiwa dan dinamika relasi antara perempuan dan laki-laki. Ia ingin mencari jalan untuk merombak sesuatu yang dianggap tidak layak dibahas, yaitu: Hasrat. Padahal perempuan adalah setara dengan laki-laki untuk bicara soal seksualitasnya, tubuh, keinginan dan pillihan kita. Puisi-puisi Valentina membuat kita berharap bahwa tidak ada kekang dalam proses perempuan mencari jalan, kebebasan dan rahasia.

Ketidakbebasan perempuan sepanjang masa untuk mengerti tubuh sendiri itu harus dihentikan. Valentina memberi rasa kebebasan dan rasa cinta itu dalam kata-kata yang meruntuhkan malu-malu sudut kehidupan perempuan. Persoalan ketelanjangan atau ranjang bukan hal baru, bahwa manusia mengalaminya dan manusia lahir dari ketelanjangan itu. Ini mungkin metafora terhadap kembali ke diri sendiri, kejujuran dan mau melihat diri kita apa adanya. Tidak ada relasi yang akan sempurna, tetapi ada kenyataan bahwa manusia harus menerima ketidaksempurnaan dan bahagia dengan pilihannya. Untuk itu kita harus berterima kasih atas keberanian dan kejujuran Valentina untuk menginspirasi perempuan di mananapun.

Valentina Sagala, adalah aktivis perempuan, penyair, peneliti, konsultan gender, Senior Independent Law Advisor, legal drafter untuk kebijakan yang berperspektif gender, dan pendiri Institut Perempuan. Ia telah bekerja sebagai aktivis dari masa reformasi belum dimulai. Ia membantu proses advokasi ketika dulu Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disusun dan akhirnya disahkan 2004. Sekarang ia adalah tim Substansi Advokasi Jaringan Masyrakat Sipil untuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang diproses di DPR-RI. Di tahun ini, Valentina baru saja mengeluarkan beberapa buku terkait isu hukum, perempuan, dan kekerasan seksual, pelecehan seksual dalam dunia kerja, ketahanan keluarga, dan perlindungan rumah tangga. Silahkan lihat Instagram @valentina_sagala.

Sumber: Instagram @jendelapuan

‘GUIDEBOOK’ DECODES ILO CONVENTION ON GENDER-BASED VIOLENCE

Sebastian Partogi

THE JAKARTA POST/JAKARTA, November 30, 2020

 

 A new book takes an inclusive, educational approach to raise awareness and understanding – and hopefully, spur action – on the 2019 ILO convention that aims to eliminate violence and harassment in a broadened “world of work”. 

 

The world of work is not a safe space for women, as seen in the increasing coverage on gender-based violence.

The latest was a shocking expose by the Associated Press (AP) published on Nov. 25, the International Day for the Elimination of Violence against Women. The article unearthed multiple cases of rape and abuse against women at a Sumatera oil palm plantation associated with prominent beauty brands around the globe.

One victim AP interviewed was a 16-year-old who recalled that she was raped by her boss ”amid the tall trees on an Indonesian palm oil plantation” where she was a shift worker.

Just two years ago in December 2017, the Inter-Factory Workers Federation (FBLP) released a documentary short film Angka Jadi Suara (The Day the Voices Are Raised), on the violence and harassment female workers suffered at a factory in an industrial estate in Cakung, East Jakarta.

During their filmed interview, the female factory workers recount their experiences of being ogled and catcalled by male mechanics in the same factory. Some of the women still work at the factory, while the others have quit.

To better protect women and other marginalized groups in the world of work, the International Labor Organization (ILO) on June 21, 2019, introduced Violence and Harassment Convention No. 190 on the elimination of violence and harassment in the world of work, including gender-based violence, supplemented with Recommendation No. 206 on violence and harassment.

The new convention, which comes eight years after the United Nations in 2011 published its seminal Guiding Principles On Business and Human Rights, enters into force on June 25, 2021.

ILO Convention No. 19 can be considered a breakthrough in terms of human rights protection in the world of work in two ways: First, it broadens the scope of the world of work, covering a more diverse range of occupations; second, it broadens the definition of gender-based violence and harassment beyond sexual abuse.

The new convention provides guidance in an inclusive framework to multiple stakeholders on comprehensively protecting workers against violence and harassment, especially vulnerable workers from minority groups, women and other marginalized groups of people.

Sadly, according to women’s rights activist and founder of Institut Perempuan (Women’s Institute) Valentina Sagala, many stakeholders in Indonesia’s world of work are as yet to be aware about the benefits of Convention No. 190.

This is what prompted her to write Dunia Kerja, Kekerasaan dan Pelecehan Berbasis Gender (The World of Work and gender-based Violence and harassment), published this year by the Women’s Institute, to serve as a guidebook to help business stakeholders understand and apply the new convention.

“The ILO itself has urged member countries to ratify the convention. We definitely hope that Indonesia will ratify the convention and adopt it into a national law. Unless we ratify the convention, the document will not be a legally binding one, only a morally binding one,” Valentina told The Jakarta Post in a Zoom interview.

Once Indonesia has ratified the convention and adopted it in law, the judiciary could take legal action against those that violate its principles.

In ratifying the ILO convention, she continued, Indonesia could actually fill the gap left by its existing laws and regulations on workers’ protection, including the 2003 Labor Law. More specifically, the country’s judiciary could tackle gender-based violence and harassment, the 2011 Manpower Ministry circular on sexual harassment in the workplace.

Public institutions and private business that care about these issues need not to wait for the government to ratify the convention; they could freely adopt the mechanisms outlined in the convention to prevent violence and harassment in their organizations.

In her book, Valentina taps into her law background to explain the superiority of the new convention compared to existing legal instruments.

“The convention widens the scope of gender-based violence and harassment in the world of work beyond just ‘sexual’ ones. This is why I symbolically added a strikethrough to ‘sexual’ in cover tittle,” she explained.

“The new convention also covers both the formal and non-formal sectors. When many people think about work, they think about the formal sector only, such as big businesses and corporations. Yet they forget that pekerja rumah tangga (domestic workers) are informal workers who they also need to protect,” she said.

Valentina said that the majority of Indonesian women worked in the informal sector, whether as domestic, plantation, migrant or sex workers.

“The convention also covers workers’ protection issues in both urban and rural areas,” she said, pointing out that many people tended to have a strong urban bias when defining the world of work.

Convention No. 190 uses the term “world of work” instead “workplace” to indicate that workers can experience gender-based violence and harassment beyond their place of employment.

In this broader iteration, “world of work” covers all the places that workers visit or travel through in the course of their jobs, such as a client’s office or a business convention, and even public spaces for journalists and NGO field workers.

World of work also covers commuting on public transportation and the use of other public facilities for work-related purpose. Examples of gender-based violence and harassment while using public transportation services and facilities include verbal abuse and harassment from passengers, public servants and clients or colleagues.

More interestingly, the new ILO convention urges employers to allow workers who experience domestic violence to take some time off to recover from their physical and psychological trauma, and to reimburse the cost of any related treatment or therapy.

“I think it’s important for stakeholders of the various labor issues in Indonesia to have a grasp of how the new convention sets new protocols regarding violence and harassment in the world of work, especially in terms of gender,” said Valentina.

“All this time, people have tended to view gender-based violence and harassment more as a mora issue, instead of setting clear organizational or institutional protocols on how to prevent them,” she continued.

“One corporate employer asked me, if he required all his female employees to wear modest clothing, would this prevent such violence from happening?” she recounted, highlighting that gender-based violence and harassment was a structural issue of unequal power relations between men and women.

Therefore, she said, solutions to these issues needed also needed to be structural and address the power imbalance, instead of simply attempting a moral approach that generally tended to blame the victims.

Source : https://www.thejakartapost.com/life/2020/11/29/guidebook-decodes-ilo-convention-on-gender-based-violence.html