DR. VALENTINA SAGALA, S.E., S.H., M.H.
Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya; Pendiri Institut Perempuan dan ALIANSI (Aliansi Aktivis Lingkungan)
Di berbagai negara di seluruh dunia, perempuan merupakan kelompok yang sangat besar dalam masyarakat miskin. Perempuan pedesaan di negara-negara berkembang sangat bergantung pada sumber daya alam setempat untuk mata pencaharian mereka, karena tanggung jawab mereka untuk mengamankan air, makanan, dan energi untuk memasak dan memanaskan ruangan. Dampak perubahan iklim, termasuk kekeringan, curah hujan yang tidak menentu, dan penggundulan hutan, membuat upaya pengamanan sumber daya ini menjadi lebih sulit. Dibandingkan dengan laki-laki di negara-negara miskin, perempuan menghadapi berbagai kerugian historis, yang meliputi keterbatasan akses terhadap pengambilan keputusan dan aset ekonomi yang memperparah tantangan perubahan iklim (Sesi ke-52 Komisi tentang Status Perempuan (2008) “Perspektif gender tentang perubahan iklim”).
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengamanatkan tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. UUD NRI 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
Perempuan dan anak merupakan dua per tiga dari 270 juta total jiwa penduduk Indonesia. Data menunjukkan, jumlah anak-anak di Indonesia mencakup sekitar 32,03%, sementara penduduk perempuan dan laki-laki masing-masing sebesar 49,92% dan 50,08%. Dengan proporsi yang signifikan ini, perempuan dan anak memiliki peran strategis dalam pembangunan bangsa
Lingkungan dan Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Di Indonesia, para pakar hukum tata negara semakin mengkaji permasalahan lingkungan dalam konsitusi, khususnya pada konstitusi UUD NRI 1945 yang mengalami empat tahap perubahan. Ketentuan hasil perubahan telah membawa makna penting bagi tersedianya jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan di dalam UUD NRI 1945, sebagai berikut:
• Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
• Pasal 33 ayat (4): “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Berdasarkan kedua Pasal di atas, UUD NRI 1945 telah mengakomodasi perlindungan konstitusi (constitutional protection), baik terhadap warga negara untuk memperoleh lingkungan hidup yang memadai maupun jaminan terjaganya tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak negatif dari aktivitas perekonomian nasional. Pan Mohamad Faiz dalam “Perlindungan terhadap Lingkungan dalam Perspektif Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 4, Desember 2016, menguraikan penafsiran konstitusi terhadap ketentuan kunci kedua Pasal tersebut sebagai berikut:
1. Hak hidup dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa setiap warga negara berhak dan memperoleh jaminan konstitusi (constitutional guaranteee) untuk hidup serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk tumbuh dan berkembang. Kebutuhan hidup warga negara Indonesia juga harus terpenuhi sesuai dengan ukuran yang memadai baik terhadap kesehatannya maupun hal-hal lain yang terkait dengan penyokong kehidupan seseorang. Secara lebih luas, norma ini diperkuat pemaknaannya dengan termaktubnya salah satu tujuan negara sebagai cita negara (staatsidee) pada Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Pembangunan berkelanjutan
Istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan pertama kali pada 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat dan setelah terbentuknya World Commission on Environment and Development (WCED) pada 1987 atau lebih dikenal dengan Brundtland Commission. Komisi tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Dalam World Summit Report 2005, pembangunan berkelanjutan haruslah didirikan di atas tiga pilar pokok, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya dibentuk untuk saling menopang antara satu dengan lainnya. Pembangunan berkelanjutan tidak saja memfokuskan diri pada aspek-aspek pembangunan ekonomi dan sosial semata, namun juga harus berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk memberikan aspirasi kehidupan yang lebih baik (WCED, 1987).
Jika ditarik melalui persepektif kerangka hukum internasional, McGoldrick merumuskan pembangunan berkelanjutan yang ditopang oleh tiga pilar menyerupai bangunan rumah. Pilar-pilar tersebut dibangun di atas tiga ranah hukum internasional, yaitu hukum lingkungan internasional, hukum ekonomi internasional, dan hukum hak asasi manusia (HAM) internasional. Dengan demikian, antara pembangunan berkelanjutan dengan HAM dapat dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, HAM yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal 28J UUD NRI 1945 juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, ketentuan dan norma HAM di dalam UUD NRI 1945 memiliki substansi dan pengaturan yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM yang bersifat universal sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti UDHR, ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya (Pan Mohamad Faiz, 2007).
KTT Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002 telah menghasilkan asas-asas pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam UNCED, terdiri dari: (1) keadilan antargenerasi (intergenerational equity); (2) keadilan dalam satu generasi (intra-generational equity); (3) prinsip pencegahan dini (precautionary principle); (4) perlindungan keanekaragaman hayati (conversation of biological diversity); dan (5) internalisasi biaya lingkungan (internalisation of environment cost and incentive mechanism). Salah satu hasil yang disepakati untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yaitu dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan berbagai aspek bahaya (multihazard) dan inklusi untuk menangani kerentanan, penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur penting bagi dunia yang lebih aman di abad ke-21 (Supriadi, 2008).
3. Berwawasan lingkungan
Menurut Surna T. Djajadiningrat, proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kondisi sumber daya alam; (2) kualitas lingkungan, dan (3) faktor kependudukan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak akan bermakna banyak apabila tidak turut memperhatikan aspek-aspek yang berwawasan lingkungan. Pembangunan haruslah mampu untuk menjaga keutuhan fungsi dan tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada dapat senantiasa tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Surna T. Djajadiningrat dalam “Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan”, Jurnal Hukum Lingkungan, Volume I, Issue 1, 1994, menyatakan bahwa untuk menciptakan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, diperlukanlah pokok-pokok kebijakan yang di antaranya berpedoman pada:
a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek;
c. Adanya pengutamaan penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah;
d. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan;
e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran sungai, rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan, serta pengelolaan wilayah pesisir dan lautan;
f. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan;
g. Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan; dan
i. Pengembangan kerja sama luar negeri.
Terdapat pertalian antara norma “pembangunan berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan”. Segala strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan memerlukan tafsir konstitusi secara khusus ketika aktor-aktor negara ingin melaksanakan aktivitas perekonomian. Hal tersebut harus dipahami semata-mata untuk mencegah terjadinya dampak negatif yang lebih besar atas rusaknya alam dan lingkungan.
Tahun 2009, Indonesia mengundangkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). UU ini dimaksudnya agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, yang merupakan pembaruan terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU PPLH mengatur lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Pasal 1 angka 1). Sedangkan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (Pasal 1 angka 2).
Gender, Perempuan, dan Lingkungan
Sejalan dengan konstitusi UUD NRI 1945, Indonesia juga memiliki UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (the Convention on the Elimination of All Forms of Disccrimination against Women/CEDAW). Ini merupakan wujud nyata komitmen Indonesia untuk tidak membenarkan adanya diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan.
CEDAW menyatakan bahwa “Para Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik”, dan untuk memastikan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki baik di organisasi Pemerintah maupun Non-Pemerintah dan dalam hal pengembangan dan implementasi kebijakan. Selain itu, CEDAW menekankan tantangan unik bagi perempuan pedesaan dan perlunya memastikan penerapan langkah-langkah ini di daerah pedesaan. Sebagai contoh, CEDAW menyerukan “akses ke kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas pemasaran, teknologi yang tepat dan perlakuan yang sama dalam reformasi tanah dan agraria serta dalam skema pemukiman kembali tanah (Pasal 14.2 (g)) dan ke kondisi kehidupan yang layak, termasuk sanitasi dan pasokan air yang memadai (Pasal 14.2 (h)).
Tahun 2009, Komite CEDAW mengeluarkan pernyataan tentang Gender dan Perubahan Iklim, yang menyatakan kekhawatiran tentang tidak adanya perspektif gender dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan kebijakan serta inisiatif global dan nasional lainnya tentang perubahan iklim; dan menyerukan kepada Negara-negara Pihak untuk memasukkan kesetaraan gender sebagai prinsip panduan utama dalam perjanjian UNFCCC yang diharapkan akan diadakan pada Konferensi Para Pihak ke-15 di Kopenhagen. http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/docs/Gender_and_climate_change.pdf
Komisi tentang Status Perempuan (2002) mempertimbangkan isu perubahan iklim pada sesi ke-46. Kesimpulan yang disepakati tentang “Pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana alam” yang diadopsi oleh Komisi menyerukan tindakan untuk memasukkan perspektif gender ke dalam penelitian yang sedang berlangsung tentang dampak dan penyebab perubahan iklim, dan untuk mendorong penerapan hasil penelitian ini dalam kebijakan dan program.
Komisi tentang Status Perempuan menganggap perubahan iklim sebagai isu yang muncul dalam sesi ke-52 pada tahun 2008. Para peserta menyoroti fakta bahwa perubahan iklim bukanlah fenomena yang netral gender, menekankan bahwa hal itu berdampak langsung pada kehidupan perempuan karena pekerjaan rumah tangga mereka dan membuat kebutuhan hidup sehari-hari mereka semakin sulit. Komisi menyerukan upaya pendanaan untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, khususnya mengacu pada dampak perubahan iklim terhadap perempuan dan anak perempuan. Lebih jauh, komisi menyerukan kepada pemerintah untuk: mengintegrasikan perspektif gender ke dalam desain, implementasi, pemantauan, evaluasi dan pelaporan kebijakan lingkungan nasional; untuk memperkuat mekanisme; dan untuk menyediakan sumber daya yang memadai untuk memastikan partisipasi penuh dan setara perempuan dalam pengambilan keputusan di semua tingkatan tentang isu lingkungan, khususnya pada strategi yang terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan perempuan dan anak perempuan.
Tahun 2018, Komite CEDAW mengeluarkan General Recommendation No. 37 on Gender-related dimensions of disaster risk reduction in the context of climate change (Rekomendasi Umum No. 37 tentang Dimensi Gender dalam Pengurangan Risiko Bencana dalam Konteks Perubahan Iklim (CEDAW/C/GC/37)). Rekomendasi ini dibuat oleh Komite CEDAW sesuai dengan Pasal 21 (1) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi), guna menjadi rekomendasi umum yang memberikan panduan kepada Negara-negara Pihak tentang pelaksanaan kewajiban mereka berdasarkan Konvensi terkait pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim. Dalam laporan Negara-negara Pihak yang disampaikan kepada Komite berdasarkan Pasal 18, Negara-negara Pihak harus membahas kewajiban umum untuk memastikan kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki di semua bidang kehidupan, serta jaminan khusus terkait dengan hak-hak Konvensi yang mungkin secara khusus terpengaruh oleh perubahan iklim dan bencana. Ini termasuk peristiwa cuaca ekstrem seperti banjir dan badai, serta fenomena yang terjadi secara perlahan, misalnya, mencairnya lapisan es kutub dan gletser, kekeringan, dan kenaikan permukaan laut (Rotua Valentina Sagala, 2018).
Tujuan dari Rekomendasi Umum No. 37 adalah untuk menggarisbawahi urgensi mitigasi perubahan iklim dan menyoroti langkah-langkah yang perlu diambil untuk mencapai kesetaraan gender sebagai faktor yang akan memperkuat ketahanan individu dan masyarakat secara global dalam konteks perubahan iklim dan bencana. Rekomendasi umum ini juga berupaya untuk memberikan kontribusi pada koherensi, akuntabilitas, dan penguatan bersama berbagai agenda internasional tentang pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dengan berfokus pada dampak perubahan iklim dan bencana terhadap hak asasi manusia perempuan.
Rekomendasi Umum ini berfokus pada kewajiban Negara Pihak dan aktor non-Negara untuk mengambil langkah-langkah efektif guna mencegah, mengurangi, dan menanggapi bencana serta perubahan iklim dan, memastikan bahwa hak asasi manusia perempuan dan anak perempuan dihormati, dilindungi, dan dipenuhi sesuai dengan hukum internasional. Rekomendasi Umum tersebut mengidentifikasi tiga area tindakan yang berbeda tetapi saling memperkuat bagi para pemangku kepentingan yang berpusat pada: (i) prinsip-prinsip umum Konvensi yang berlaku untuk risiko bencana dan perubahan iklim; (ii) langkah-langkah khusus untuk mengatasi pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim; dan (iii) area-area khusus yang perlu diperhatikan.
Indonesia juga memiliki Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini telah menjadi dasar bagi Kementerian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan di bidang-bidang pembangunan terkait, termasuk lingkungan.
Perempuan sebagai entitas penting dalam masyarakat, sebagai subyek pembangunan, memiliki peran strategis dalam menghadapi perubahan iklim, kelangsungan lingkungan, dan bencana. Analisis gender dan persepektif perempuan sangat penting diterapkan pada semua tindakan perubahan iklim dan bahwa para ahli gender dan komunitas perempuan harus diajak berkonsultasi dalam proses perubahan iklim di semua tingkatan, sehingga kebutuhan dan prioritas spesifik perempuan dan laki-laki dapat diidentifikasi dan ditangani.
—
Pengutipan terhadap artikel ini harap dilakukan sesuai pengutipan ilmiah.